Jumat, 11 November 2011

PROGRAM - PROGRAM YANG DIJALANKN PEMERINTAH MELALUI DEPARTEMEN KOPERASI

Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.

Potret Koperasi Indonesia

Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.

Pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan, disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD.

Posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

1. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

2. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengembangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendorong pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.

SUMBER PERMODALAN KOPERASI
Seperti halnya bentuk badan usaha yang lain, untuk menjalankan kegiatan usahanya koperasi memerlukan modal. Adapun modal koperasi terdiri atas modal sendiri dan modal pinjaman.

Modal sendiri meliputi sumber modal sebagai berikut:
• Simpanan Pokok
Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi. Simpanan pokok jumlahnya sama untuk setiap anggota.
• Simpanan Wajib
Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu yang harus dibayarkan oleh anggota kepada koperasi dalam waktu dan kesempatan tertentu, misalnya tiap bulan dengan jumlah simpanan yang sama untuk setiap bulannya. Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi.
• Simpanan khusus/lain-lain misalnya:Simpanan sukarela (simpanan yang dapat diambil kapan saja), Simpanan Qurba, dan Deposito Berjangka.
• Dana Cadangan
Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan Sisa Hasil usaha, yang dimaksudkan untuk pemupukan modal sendiri, pembagian kepada anggota yang keluar dari keanggotaan koperasi, dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
• Hibah
Hibah adalah sejumlah uang atau barang modal yang dapat dinilai dengan uang yang diterima dari pihak lain yang bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat
adapun modal pinjaman koperasi berasal dari pihak-pihak sebagai berikut:
• Anggota dan calon anggota
• Koperasi lainnya dan/atau anggotanya yang didasari dengan perjanjian kerjasama antarkoperasi
• Bank dan Lembaga keuangan bukan banklembaga keuangan lainnya yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku
• Penerbitan obligasi dan surat utang lainnya yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
• Sumber lain yang sah
EVALUASI KEBERHASILAN KOPERASI
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam yang selanjutnya tumbuh koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan produksi. Untuk lebih memungkinkan Koperasi menjalankan fungsi-fungsinya maka usaha-usaha yang telah dimulai untuk mengem¬balikan Koperasi kepada landasannya yang murni harus dilanjutkan dan ditingkatkan.

Usaha-usaha tersebut berpokok pada
(a) mengembalikan hak tertinggi didalam Koperasi kepada rapat anggota sesuai dengan azas demokrasi,
(b) menghilangkan pengaruh-pengaruh langsung atau tidak langsung yang mempolitikkan Koperasi dan
(c) mengembalikan kondisi Koperasi kepada azas dan sendi-sendi dasarnya yang sebenarnya, baik sebagai suatu lembaga ekonomi dan suatu perusahaan maupun sebagai usaha lembaga sosial.

Menurut pasal 37 Undang-undang No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, maka peranan Pemerintah didalam pembinaan Koperasi tersebut adalah memberikan bimbingan, penga¬wasan, perlindungan dan fasilitas terhadap Koperasi serta memampu¬kannya untuk melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasang surut dan naiknya perkembangan koperasi di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan dan sikap pemerintah pada masa tertentu terhadap koperasi. Sejak pertama kali didirikannya koperasi di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896, koperasi sudah langsung mendapatkan respon sikap dan kebijakan dari pemerintah Belanda yang mengeluarkan peraturan mengenai syarat-syarat pendirian koperasi. Syarat-syarat yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada saat itu mencerminkan sikap pemerintahan Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan pusat perlawanan rakyat Indonesia terhadap Belanda sehingga syarat-syarat yang diberikan untuk mendirikan koperasi sangat dipersulit.

Sikap dan Kebijakan Pemerintah terhadap perkoperasian di Indonesia terus ditunjukan dengan banyaknya peraturan tentang koperasi sehingga mencerminkan ketidakkonsistennan sikap pemerintah terhadap perkoperasian di Indonesia. Ada kalanya pemerintah bersikap acuh tak acuh dan ada kalanya pula pemerintah memanjakan koperasi, untuk itu agar dapat memahami sikap dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bermanfaat atau tidak maka diperlukan pangkajian terhadap sikap dan kebijakan pemerintah terhadap koperasi sejak awal hingga saat ini.

1.2 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Memahami lebih jauh tentang adanya korelasi lembaga pemerintahan terhadap keberhasilan koperasi.
2. Mengidentifikasi dan menjelaskan sikap dan kebijakan pemerintah terhadap perkoperasian di Indonesia.

2.1 Keberhasilan koperasi pada suatu negara tidak selamanya berkorelasi dengan adanya institusi/lembaga yang menangani secara khusus tentang koperasi

Menurut kelompok kami keberhasilan suatu koperasi tidak selamanya berkorelasi dengan adanya institusi atau lembaga yang secara khusus menangani koperasi. Adanya pembentukan suatu lembaga yang secara khusus menangani koperasi termasuk ke dalam bentuk campur tangan pemerintah dalam mengembangkan koperasi itu sendiri. Campur tangan tersebut baik diterapkan namun sistem penerapannya perlu dikaji lebih lanjut. Hal tersebut perlu dilakukan agar menghindari sikap ketergantungan koperasi terhadap pemerintah, sehingga koperasi akan sulit untuk mandiri (sesuai dengan prinsip otonomi dan kemandirian koperasi).
Contoh nya adalah industri tekstil yang dibangun oleh GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan koperasi batik primernya Pemerintah mempunyai peranan penting yaitu memberikan hak monopoli impor kain putih kepada GKBI untuk disalurkan kepada anggota koperasi industri batik melalui koperasi primer. Dari peranannya sebagai distributor itulah, koperasi primer dan sekundernya bisa mengambil keuntungan yang dipupuk menjadi modal. Namun industri besar tekstil yang dikembangkan oleh GKBI adalah kerja samanya dengan badan usaha swasta asing terutama dari Jepang yang dulu mengekspor kain putih ke Indonesia. Saat ini GKBI merupakan salah sebuah grup usaha konglomerasi (yang mempunyai anak-anak perusahaan di berbagai cabang usaha) yang cukup tangguh yang termasuk ke dalam sembilan calon pembeli bank BCA. Dari hal tersebut maka tidak selamanya dengan pembentukan institusi khusus koperasi dapat menjadikan koperasi berkembang dengan baik, terlihat koperasi pada masa lampau dapat berjaya tanpa adanya institusi tersebut, hanya diperlukan suatu kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah yang dapat mendorong berkembangnya koperasi. Namun tidak salah jika institusi atau lembaga tersebut dibentuk hanya saja dengan dibentuknya lembaga tersebut dapat secara efektif mendorong kemajuan koperasi itu sendiri.

2.2 Sikap pemerintah terhadap pendekatan Offisialisasi dan Indenpendensi Koperasi

Pertumbuhan dan perkembangan koperasi ditandai dengan peningkatan kinerja yang baik tidak terlepas dari peran serta pemerintah untuk memperhatikan perkembangan koperasi tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah ini dapat menggambarkan sikap yang berbeda terhadap koperasi di negara-negara lainnya. Sikap pemerintah terhadap koperasi juga dapat berubah akibat dari pertumbuhan gerakan koperasi di negara tersebut. Sikap-sikap yang diperlihatkan oleh pemerintah ini dapat bersifat berlawanan jika pemerintah mempersulit bagi keadaan yang mengakomodasi perkembangan koperasi, acuh tak acuh apabila pemerintah menganggap koperasi tersebut berada pada posisi pengakuan dan tidak ada pengakuan, dan sikap yang over symphaty yang menggambarkan sikap berlebihan pemerintah terhadap koperasi akibat dari keyakinan pemerintah terhadap koperasi yang menganggap koperasi dapat dengan segera mensejahterakan rakyat. Hal ini dapat berkibat munculnya suatu kebijakan yang sebenarnya melanggar prinsip kemandirian atau independensi dari koperasi itu sendiri. Sedangkan sikap yang terkahir yaitu sikap well balance yang menggambarkan sikap pemerintah yang tepat dalam memandang koperasi sebagai sebuah kelembagaan dan bisnis yang ada di masyarakat .

Dalam perkembangan perkoperasian di tanah air ini ada dua pernyataan yang berkembang di masyarakat yang merepresentasikan sikap pemerintah terhadap koperasi yang berada pada posisi over symphaty. Kedua pernyataan tersebut, yaitu:

(1) “secara historis, pengembangan koperasi di Indonesia telah digerakkan melalui dukungan kuat program pemerintah (pendekatan offisialisasi), dan tidak jarang peran tersebut justru tidak mendewasakan koperasi”.

(2) ”Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi”.

Kedua pernyataan tersebut menggambarkan dan menjelaskan kepada kita semua bahwa pemerintah telah melakukan suatu kebijakan yang sebenarnya kurang begitu tepat kepada koperasi di tanah air ini. Kekurangtepatan langkah yang diambil pemerintah tersebut berupa dukungan yang kuat melalui program-program pemerintah untuk menggerakkan koperasi. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa koperasi harus digerakkan melalui suatu perwujudan dari adanya tujuan bersama yang berasal dari para anggotanya. Dengan kata lain koperasi tersebut digerakkan dengan kekuatan anggota yang menjadi modal dasar bagi perkembangan koperasi berikutnya.

Secara konsepsional, koperasi tentunya harus tumbuh dari bawah, dari kalangan masyarakat sendiri (bottom up approach), yang didasarkan atas kebutuhan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Kemudian, apabila masyarakat yang merupakan anggota dari koperasi tersebut pada masa awal pembentukannya dapat dibantu oleh pemerintah. Bantuan dari pemerintah itupun harus berupa bantuan yang memudahkan secara birokratis saja seperti perizinan dan pendidikan awal kepengurusan koperasi beserta dengan perangkat aturan-aturan perkoperasian. Mungkin, pada awal pembentukannya koperasi tersebut mengalami permasalahan permodalan unit usahanya, pemerintah harus membantu koperasi tersebut dengan memberikan permodalan yang dibutuhkan. Selanjutnya, pemerintah harus membiarkan koperasi tersebut tumbuh dengan campur tangan pemerintah yang semakin berkurang sesuai dengan tahapan perkembangan koperasi yang mencakup tiga tahapan, yaitu: tahapan offisialisasi, tahap de-offisialisasi, dan tahap kemandirian.

Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam proses pembentukan koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya serta menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan. Sasarannya adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan manfaat dalam pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga mendorong motivasi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi tersebut.

Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi rakyat atau anggota koperasi dalam berkoperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern organisasi koperasi dan mereka secara bersama telah mulai mampu mengambil keputusan secara lebih mandiri. Tahap ketiga adalah kemandirian. Tahap ini terlaksana apabila peran pemerintah sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah mampu mencapai tahap kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.

Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai untuk menyusun konsep kelembagaan koperasi pedesaan. Kemudian melaksanakannya melalui pilot project yang kita kenal dengan proyek BUUD. Proyek tersebut berhasil dan kelembagaan BUUD disempurnakan menjadi KUD melalui Inpres no. 4/1973. Di dalam Inpres tersebut di samping penegasan KUD sebagai koperasi pertanian serta usaha, juga diletakkan berbagai kebijakan dan strategi pembangunannya. Inpres tersebut kemudian disempurnakan kembali melalui Inpres no. 2/1978 dan yang terakhir adalah Inpres no. 4/1984 di mana fungsi dan peran KUD diperluas sebagai koperasi pedesaan serba usaha yang pembangunannya dikaitkan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi pedesaan.

Awal Pelita V hingga Pelita VI merupakan masa transisi tahap terakhir, yaitu tahap kemandirian. Langkah strategis yang telah dilakukan pada awal Pelita V adalah dengan mengembangkan program KUD mandiri di mana pada awal Pelita V telah terwujud 2.929 KUD mandiri. Pada akhir Pelita V lebih dari 4000 KUD yang tersebar di setiap kecamatan di seluruh Indonesia merupakan KUD yang minimal telah mencapai posisi awal kemandiriannya. Keberadaan KUD mandiri tersebut akan semakin memperkecil keterlibatan langsung pemerintah dalam upaya mengembangkan koperasi. Pada gilirannya, yaitu dalam Pelita VI seluruh KUD mandiri tersebut diharapkan telah mampu mencapai posisi yang sepenuhnya mandiri. Sedangkan KUD yang aktif lainnya telah memasuki awal kemandiriannya.

Ironisnya semangat pemerintah dalam membangun koperasi pada dekade terakhir terlihat sangat menurun. Pada tahun 1993 Dapartemen Koperasi “dianugrahkan” tambahan pekerjaan yang luar biasa besarnya untuk sekaligus membina Usaha Kecil dan Menengah, yang berjumlah sekitar 39 juta unit. Beban tugas baru ini cukup mereduksi perhatian pemerintah dalam pengembangan koperasi. Apalagi setelah dilakukan perubahan struktur departemen koperasi menjadi kementerian negara pada tahun 1999, dimana anggaran yang disediakan untuk pembangunan koperasi nasional menjadi sangat kecil. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah kepada kementerian koperasi dan UKM.

Koperasi juga dijadikan alat oleh pemerintah untuk mengalirkan program-program kebijakan dari pemerintah. Hal ini telah dikemukakan oleh beberapa pihak seperti Soetrisno (2001), ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu:
(i) program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD;
(ii) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
(iii) perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan.

Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya. Menurutnya, intervensi dari pemerintah yang terlalu besar sebagai salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.

Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang dilakukan selama pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) pada era Orde Baru menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit ke petani lewat BIMAS menjadi koperasi unit tani (KUT), pola pengadaan beras pemerintah, sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa.

Sedangkan dilihat dari strukturnya, organisasi koperasi di Indonesia mirip organisasi pemerintah/ lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Menurut Soetrisno (2001), fenomena ini sekarang ini harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang sejalan dengan proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan ekonomi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.

Pendangan dari Soetrisno (2001) tersebut di atas juga didukung oleh Widiyanto (1998) yang mengatakan bahwa keberhasilan usaha koperasi di Indonesia biasanya bergantung pada dua hal. Pertama, program pemerintah karena koperasi sering dijadikan "kepanjangan" tangan pemerintah dalam mengatur sendi perekonomian. Kedua, keinginan pemenuhan kebutuhan anggota; jadi koperasi koperasi seringkali dipakai sebagai alat pemenuhan kebutuhan anggota yang biasanya juga berkaitan dengan program yang telah dicanangkan pemerintah. Misalnya KUD. Dalam prakteknya, KUD sering kali merupakan institusi yang menyediakan faktor produksi bagi petani yang kuantitas dan kualitas faktor produksinya sangat bergantung pada program pemerintah.

Dengan menjadikan koperasi sebagai perpanjangan tangan pemerintah, maka hal ini akan merusak sendi-sendi perkoperasian. Dengan adanya program dari pemerintah ini, maka koperasi kehilangan kemampuan atau dengan kata lain terjadi penumpulan kemampuan angota yang merangkap sebagai pengurus untuk menjalankan koperasi tersebut. Anggota koperasi tersebut akan terbiasa untuk menerima bantuan pemerintah dan tidak terbiasa untuk bekerjasama menjalankan unit usaha koperasi sesuai dengan tujuan bersama yang telah disepakati. Apabila hal ini berlangsung terus menerus, maka dikhawatirkan dan memang sudah terjadi pada masa kini yaitu koperasi yang hanya menerima atau mengharapkan uluran bantuan dari pemerintah akan menjadi koperasi yang tidak berkembang dan bahkan bubar akibat ditinggalkan oleh anggotanya. Kejadian inilah yang banyak kita lihat pada saat ini tentang perkoperasian Indonesia. Dan hanya koperasi yang tangguh dan mandirilah yang survive dalam kondisi persaingan yang ketat dengan badan usaha lain di luar koperasi.

3.1 Sikap pemerintah terhadap pembentukan koperasi dengan menggunakan pola KUD dan Non KUD
3.1.1Bantuan tersebut merupakan sikap over simpaty atau tidak?

Koperasi yang tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan kinerja yang baik tidak telepas dari kebijakan pemerintah terhadap koperasi. Sikap pemerintah terhadap setiap koperasi berbeda-beda. Sikap pemerintah tersebut dapat bersifat berlawanan (antagonism), acuh tak acuh (indifference), simpati berlebihan (over sympathy), dan seimbang (well balance). Dalam pembentukan koperasi, pemerintah menerapkan dua pola, yaitu pola KUD dan Non KUD. Pada pola KUD pemerintah memberikan bantuan yang sangat besar. Pola KUD ditujukan untuk koperasi-koperasi pedesaan dan pola Non KUD diterapkan untuk koperasi perkotaan. Pemerintah mengembangkan KUD sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis sebagai wadah bagi masyarakat golongan ekonomi lemah untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pemerintah pula melaksanakan pembinaan dalam bentuk pemberian bantuan, bimbingan, dan penyuluhan, pengawasan, peningkatan keterampilan manajer, dan bantuan permodalan seperti kredit program.

Menurut kelompok kami, pola yang diterapkan pemerintah termasuk ke dalam sikap simpati berlebihan (over sympathy). Sikap over sympathy merupakan sikap pemerintah yang menimbulkan ketergantungankoperasi kepada pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah memberikan perhatian dan bantuan yang berlebihan kepada koperasi. Sikap ini muncul juga karena pemerintah menganggap koperasi sebagai organisasi yang tepat untuk mengatasi perbaikan ekonomi dan sosial masyarakat di negara yang bersangkutan. Pemerintah kita juga menggangap koperasi sebagai sokoguru perekonomian yang mampu mengatasi perbaikan ekonomi Indonesia. Sikap ini mengakibatkan jiwa selfhelp pada diri anggota tidak melekat pada kepribadiannya karena seluruh tenaga kerja, modal, dan lainnya disediakan oleh pemerintah. Pada awal pembentukannya, wajar apabila pemerintah memberikan bantuan kepada koperasi. Namun, pada kenyataannya pemerintah terus menerus memberikan bantuan kepada koperasi yang mengakibatkan koperasi menjadi tidak mendiri. Padahal seharusnya pemerintah mulai mengurangi bantuannya, sehingga anggota koperasi dapat mengusahakan perkembangan koperasi tanpa tergantung pada bantuan pemerintah. Sikap ini juga membuat koperasi menjadi tidak berkembang. Akibatnya citra koperasi itu sendiri menjadi buruk dan partisipasi anggota menjadi sedikit. Pemerintah kita terlalu memanjakan koperasi-koperasi sehingga orang-orang yang ada di dalam koperasi tidak termotivasi untuk bekerja keras dan cenderung tergantung pada pemerintah.

3.1.2 PUAP merupakan sikap over simpaty tidak?

PUAP adalah pemberian modal kepada unit usaha pedesaan terpilih yang berbasis pada bidang agribisnis unggulan dengan sasarannya yaitu buruh tani, petani penggarap, petani pemilik, maupun rumah tangga petani untuk merencanakan usahanya. PUAP salah suatu program dari pemerintah yang bertujuan mengurangi tingkat kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja diperdesaan. PUAP dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan Departemen Pertanian maupun Kementerian/ Lembaga lain dibawah payung program PNPM Mandiri. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada GAPOKTAN dalam mengembangkan usaha produktif petani skala kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin. Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP untuk penyaluran bantuan modal usaha bagi anggota.

Pemberian modal diharapkan akan membantu kelancaran usaha masyarakat desa. Unit usaha yang dapat dilaksanakan dengan adanya PUAP mencakup semua subsistem agribisnis yang ada. Dimulai dari subsistem hulu dapat diadakan unit usaha penyediaan sarana produksi pertanian (saprodi) seperti penyediaan pupuk, bibit, dan lain-lain. Dari subsistem budidaya (onfarm) dapat diadakan suatu unit usaha penjualan produk setengah jadi. Dan dari subsistem hilir terdapat banyak unit usaha yang dapat dilakukan antara lain pengolahan barang setengah jadi menjadi barang jadi degan nilai tambah yang memiliki nilai jual tinggi, pengolahan produk turunan dari suatu produk yang dihasilkan, proses pengemasan produk, dan sebagainya. Keseluruhan subsistem agribisnis tersebut menghadirkan peluang unit usaha yang memiliki prospek baik untuk ke depannya. Sehingga jika Gapoktan mampu untuk mengelola dana PUAP yang diberikan dengan baik maka dapat terwujud unit usaha yang mandiri dan berkompetensi.

Dengan kondisi unit usaha seperti itu, nantinya para petani akan lebih mudah untuk menyalurkan produk yang mereka hasilkan dari kegiatan usahataninya. Produk petani dapat tersalur dan terjual dengan baik sehingga dapat meningkatkan kelancaran perputaran modal pada petani dan juga kelancaran kegiatan usahatani mereka. Dengan adanya unit usaha di wilayah pedesaan akan mampu meningkatkan kesejahteraan, mulai dari kesejahteraan masyarakat desa pemilik unit usaha maupun masyarakat sekitar yang mendapatkan manfaat dari adanya unit usaha ini. Manfaat yang dapat dirasakan diantaranya adalah peningkatan keterampilan produksi karena pendampingan usaha oleh penyuluh pendamping, peningkatan penyerapan tenaga kerja di desa tersebut. Dengan demikian, perekonomian pedesaan akan meningkat selaras dengan peningkatan unit usaha masyarakatnya. Hal inilah yang dapat dikatakan bahwa melalui dana PUAP yang disalurkan kepada gabungan kelompok tani dapat menggerakkan perekonomian pedesaan.

Menurut kelompok kami program PUAP merupakan sikap ideal (well balance) selama program ini mempunyai batasan-batasan tertentu. Program ini berpotensi menjadi program yang merupakan sikap simpati berlebihan. Karena apabila pemerintah terus-menerus memberikan bantuan dapat menimbulkan sikap ketergantungan petani. Apalagi apabila pemerintah memberikan modal dengan cuma-cuma bukan dalam bentuk pinjaman, penerima bantuan tidak akan memiliki kemauan keras untuk menjalankan usahanya karena dana yang diberikan tidak perlu dikembalikan. Dalam program PUAP ini pemerintah sebaiknya menerapkan sistem dana bergulir, jadi ketika petani yang satu berhasil dapat menggulirkan dana kepada petani lain yang membutuhkan. Memang sangat dibutuhkan penyuluhan pada awal program ini, tetapi pemerintah juga tidak usah terlalu berlebihan dalam mendampingi penerima dana PUAP sehingga penerima dana PUAP juga dapat berpikir kreatif dan bekerja keras untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, dengan sistem dana bergulir, penerima dana diberikan sebuah tanggungjawab untuk mengelola dana yang diberikan. Pemerintah secara perlahan harus mengurangi keterlibatannya dalam program ini sehingga masyarakat dapat mandiri. Namun, pada kenyataannya pelaksanaan program PUAP yang dilaksanakan pemerintah sudah menimbulkan sikap simpati yang berlebihan (over sympathy). Pemerintah tidak hanya sebagai pengawas tetapi juga memiliki andil dalam program ini. Semua permodalan disediakan oleh pemerintah sehingga pengguna dana PUAP menjadi tidak mendiri.

3.1.3 Tahapan pembinaan KUD oleh pemerintah

Sikap pemerintah yang pernah diterapkan di Indonesia terhadap koperasi meliputi sikap over symphaty dan well balance. Kedua sikap tersebut yang mendasari perkembangan dan pasang surut koperasi Indonesia hingga saat ini. Pada dasarnya pemerintah melalui instansi atau pihak terkait berupaya untuk menumbuhkembangkan koperasi menjadi salah satu alternatif kekuatan ekonomi rakyat yang berdasarkan pada penguatan ekonomi masyarakat di pedesaan dan pertanian. Maka, bentuk perhatian dan ketelibatan pemerintah atau pembinaan yang ideal terhadap koperasi dapat ditunjukkan dalam bentuk tiga tahap, yaitu: tahap offisialisasi, tahap de-offisialisasi, dan tahap kemandirian. Pada tahap awal, bentuk perhatian pemerintah dan keterlibatannya disebut sebagai tahap offisialisasi, yaitu sikap dimana pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar karena peran koperasi yang masih sangat kecil. Ini terjadi apabila koperasi masih dalam tahap pendirian dan baru saja tumbuh, sehingga dimungkinkan peran pemerintah lebih besar dibandingkan dengan peran dari koperasi itu sendiri. Sikap pemerintah sudah mulai dikurangi hingga terjadi keseimbangan antara koperasi dan pemerintah, yang terjadi pada tahap de-offisialisasi. Tahap terakhir dari bentuk perhatian dan pembinaan pemerintah pada koperasi adalah tahap kemandirian. Pada tahap ini, pemerintah mengurangi bantuan dan perhatiannya kepada koperasi, dan koperasi memiliki peran yang lebih besar daripada pemerintah. Artinya, pada tahap ini, koperasi telah mampu mandiri, namun fungsi pemerintah tetap ada, yaitu untuk mengawasi dan memberikan bantuan bila koperasi membutuhkan bantuan pemerintah, sesuai dengan kebutuhan koperasi. Bentuk bantuan pemerintah kepada koperasi ini adalah antara lain berupa modal, pendidikan dan pelatihan, dan pendampingan.

Pada dasarnya, bentuk perhatian dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap koperasi yang meliputi tiga bentuk tahapan tersebut, dilakukan sejak masa Orde Baru. Untuk dapat mewujudkan organisasi ekonomi mandiri, pemerintah masa Orde Baru hanya melakukan pembinaan khususnya untuk memantapkan aspek kelembagaan, seperti membina tumbuhnya pengawasan secara demokratis olek anggotanya dan menetapkan peran pemerintah hanya terbatas pada pemberian bimbingan, fasilitas, serta penciptaan iklim yang diharapkan mampu membantu memandirikan koperasi. Untuk itu, tahap pembangunan KUD ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: offisialisasi, eofisialisasi (debirokratisasi), dan otonomi. Pada tahap otonomi (mandiri), koperasi diharapkan sudah mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan dari luar pihak koperasi, termasuk pemerintah.

Sejak awal Orde Baru, pembangunan koperasi telah diintegrasikan dengan pembangunan perekonomian nasional melalui pengkaitan koperasi pertanian yang dikembangkan menjadi KUD dalam menangani pengadaan pangan nasional. Hal itu tercermin dalam Garis–garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) Tahap 1, pemerintah dengan melalui program pembangunan KUD, berupaya membuat koperasi menjadi badan usaha di perdesaan. Namun demikian, upaya itu belum cukup memuaskan dari sisi perkembangan kualitas kegiatan usahanya. Untuk memacu kualitas kegiatan usahanya itu, UU No. 12/1967 diganti dengan UU No. 25 Tahun 1992, yang lebih menekankan pada pengaturan keberadaan koperasi sebagai suatu badan usaha. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong peningkatan posisi dan peran koperasi dalam dinamika bisnis perekonomian nasional, sekaligus mempersiapkan koperasi Indonesia untuk menghadapi era perdagangan bebas.

Selanjutnya, dalam GBHN 1993 ditetapkan kebijakan Pembangunan Lima Tahun ke-VI, diantaranya memuat pernyataan: “Koperasi yang merupakan bagian integral dari perekonomian nasional, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, pembangunannya diarahkan untuk mengembangkan koperasi agar menjadi semakin maju, semakin mandiri, dan semakin berakar dalam masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu berperan dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”.

Tentang kemandirian koperasi, pasal 5 UU No. 25/1992 menyatakan bahwa hal itu merupakan salah satu prinsip koperasi Indonesia, dengan penjelasan “Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain, yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan, dan usaha sendiri. Dalam kemandirian pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri”. Semangat kemandirian itu mengungkapkan bahwa koperasi merupakan satu masyarakat sendiri dan karenanya pemerintah harus menjauhkan diri dari upaya campur tangan. Hal itu juga dinyatakan dalam penjelasan pasal 60 UU NO. 25/1992: “Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi koperasi”.

Secara normatif, kemandirian koperasi sudah menjadi ketentuan praktis. Hal ini bukan saja sesuai dengan tuntutan dari dalam koperasi sendiri (sesuai dengan prinsip–prinsipnya), tetapi diharapkan juga dapat memenuhi tuntutan dari luar, selaras dengan berlakunya globalisasi atau liberalisasi ekonomi. Melalui aplikasi berbagai kebijakan pemerintah dan aktivitas gerakan koperasi sendiri, telah terjadi proses pertumbuhan dalam perkoperasian Indonesia yang relatif cukup maju bila diukur dan indikator fisik seperti besarnya jumlah koperasi, anggota koperasi, permodalan, aset, omzet (volume usaha), maupun besarnya nilai SHU. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada data komposisi kinerja koperasi Indonesia selama 5 tahun terakhir, pada masa orde baru (1994–1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar