Kamis, 02 Januari 2014

Norma dan etika Dalam Produksi dan Lingkungan

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Kegiatan produksi mempunyai fungsi mencipta­kan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu, harga dan jumlah yang tepat.
Dalam proses produksi biasanya perusahaan menekankan agar produk yang dihasilkannya mengeluarkan biaya yang termurah, melalui peng-kombinasian penggunaan sumber-sumber daya yang dibutuhkan, tentu sajatanpa mengabaikan proses inovasi serta kreasi. Secara praktis, ini memerlukan perubahan dalam cara membangun. Yakni dari cara produksikonvensional menjaai cara produksi dengan menggunakan sumber dayaalam semakin sedikit, membakar energi semakin rendah, menggunakanruang-tempat lebih kecil, membuang limbah dan sampah lebih sedikitdengan hasil produk yang setelah dikonsumsi masih bisa didaur ulang.
Pola produksi ini dilaksanakan dalam ruang lingkup dunia usaha yangmerangsang diterapkannya secara lebih meluas ISO-9000 dan ISO-14000.
ISO-9000 bertujuan untuk peningkatan kualitas produksi. SedangkanISO-14000 bertujuan untuk peningkatan pola produksi berwawasan ling-kungan, membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran "keselamatan kerja, kesehatan, dan lingkungan" yang maksimal danpola produksi dengan "limbah-nol" (zero waste), mendorong penjualandengan pengepakan barang secara minimal dan bisa dikembalikan untukdidaur-ulang kepada penjual, merangsang perusahaan asuransi mengem-bangkan "risiko lingkungan" dan mendorong Bursa Jakarta mengembangkansemacam "Dow Jones Sustainable Development Index".
Langkah-langkah tersebut memerlukan ditegakkannya kode etika"tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi" (corporate responsibility and accountability) yang diawasi ketat oleh asosiasi-asosiasi perusahaan danmasyarakat umum. Kualitas produk pun bisa dikorbankan demi pemangkasan biaya produksi.
Hukum harus menjadi langkah pencegahan (precautionary measures)yang ketat bagi perilaku ekonomi. Perilaku ekonomi yang membahayakankeselamatan publik harus diganjar seberat-beratnya. Ini bukan sekadarlabelisasi "aman" atau "tidak aman" pada barang konsumsi. Karena, itu amatrentan terhadap kolusi. Banyak pengusaha rela membayar miliaran rupiah bagi segala bentuk labelisasi. Seharusnya pengusaha membayar miliaranrupiah atas perbuatannya yang membahayakan keselamatan publik. Hukum harus menjadi pencegah dan bukan pemicu perilaku ekonomi tak etis.
Sebagai contoh kasus di luar negeri yang terjadi pada biskuit Arnottsdi Australia. Pada suatu saat perusahaan ditelpon oleh seseorang yanghendak memeras perusahaan tersebut bahwa salah satu kemasan produknya berisi biskuit yang beracun tidak diketahui kecuali oleh si pemeras tersebut. Perusahaan dihadapkan pada dua pilihan yaitu membayar orang yang memeras tersebut untuk menunjukkan produk mana yang beracun, atau menarik seluruh peredaran biskuit tersebut.
Namun perusahaan lebih memilih untuk menanggung kerugian yangbesar dengan menarik seluruh produk-produknya dan memusnahkannya.Ternyata itu menanamkan kepercayaan konsumen kepada perusahaan,walaupun pada saat itu perusahaan menanggung kerugian yang cukup besar, namun ternyata enam bulan kemudian pendapatan perusahaan naik tiga kali lipat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar